Pemeriksaan GAKKUM di Torobulu Diwarnai Ketegangan, WALHI Desak Transparansi Penegakan Hukum

Konawe Selatan, 8 Mei 2025 — Proses penegakan hukum terhadap dugaan tindak pidana kehutanan oleh PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) di Desa Torobulu, Kabupaten Konawe Selatan, diwarnai ketegangan. Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (GAKKUM) Wilayah Sulawesi melakukan pemeriksaan lapangan atas laporan warga, Bapak Nurlan, bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tenggara, terkait aktivitas pembukaan lahan di kawasan hutan lindung mangrove.

Namun, alih-alih berlangsung terbuka, pemeriksaan tersebut justru memunculkan polemik. Ketegangan terjadi ketika pihak GAKKUM menolak memperlihatkan surat tugas pemeriksaan maupun undangan klarifikasi yang ditujukan kepada pelapor. Sikap tertutup ini memicu protes dari WALHI Sulawesi Tenggara yang menilai langkah GAKKUM mencederai prinsip transparansi dan partisipasi publik dalam penegakan hukum lingkungan.

Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tenggara, Andi Rahman, menyayangkan tindakan tersebut. Saat ditemui di lapangan, ia menyatakan:

“Kami menghormati tugas GAKKUM, tetapi tindakan mereka yang menutup akses informasi terhadap surat tugas dan undangan klarifikasi kepada pelapor adalah bentuk pengabaian terhadap hak masyarakat untuk tahu dan terlibat. Masyarakat punya hak untuk mendampingi proses hukum yang menyangkut ruang hidup mereka.”

WALHI menilai pendekatan tertutup seperti ini justru memperlemah kepercayaan publik dan berpotensi memperbesar konflik, terutama di wilayah yang rentan seperti pesisir Torobulu yang kini terancam oleh ekspansi industri ekstraktif.

Atas situasi ini, WALHI mendesak GAKKUM untuk membuka proses penanganan kasus secara transparan, menjamin perlindungan terhadap pelapor, serta memastikan keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap pemeriksaan.

“Kami akan terus mengawal proses hukum ini agar tidak berhenti pada formalitas pemeriksaan, tetapi benar-benar menghadirkan keadilan ekologis bagi masyarakat pesisir Torobulu,” tegas Andi Rahman.

Tertutupnya Proses Pemeriksaan GAKKUM dan Pengabaian Prinsip Hukum Lingkungan

Pelanggaran terhadap Prinsip Transparansi dan Partisipasi Publik

Sikap GAKKUM yang menolak menunjukkan surat tugas dan undangan klarifikasi kepada pelapor (warga dan WALHI Sultra) merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan partisipasi publik dalam penegakan hukum lingkungan hidup. Hal ini bertentangan dengan:

  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
    • Pasal 65 ayat (1): “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.”
    • Pasal 65 ayat (2): “Setiap orang berhak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.”
    • Pasal 65 ayat (3): “Setiap orang berhak untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Dengan demikian, penolakan GAKKUM untuk membagikan informasi dasar seperti surat tugas dan undangan klarifikasi kepada pelapor adalah bentuk pengabaian terhadap hak atas informasi dan partisipasi masyarakat yang dijamin dalam undang-undang.


2. Pengabaian Perlindungan terhadap Pelapor dan Pembela Lingkungan

Warga dan WALHI Sultra dalam kasus ini bertindak sebagai pelapor dan pembela lingkungan. Sikap tertutup dan eksklusi dari proses hukum yang seharusnya inklusif bisa berujung pada delegitimasi masyarakat sipil serta membuka ruang intimidasi terhadap warga yang menyuarakan pelanggaran lingkungan.

  • UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 66 menegaskan: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

Penolakan GAKKUM untuk melibatkan pelapor secara resmi dan terbuka mencederai semangat pasal ini karena secara tidak langsung menempatkan warga dalam posisi tidak berdaya dan tidak terlindungi dalam proses hukum yang seharusnya mereka punya hak untuk ikuti.


3. Kewajiban Penegakan Hukum Berbasis Prinsip Keterbukaan dan Akuntabilitas

GAKKUM sebagai organ pemerintah wajib menjalankan tugas penegakan hukum berdasarkan asas tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yakni:

  • Transparansi
  • Akuntabilitas
  • Partisipasi

Ketiga asas ini dikuatkan dalam:

  • UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, di mana dokumen-dokumen seperti surat tugas dan agenda pemeriksaan bukan merupakan informasi yang dikecualikan.
  • Peraturan Menteri LHK No. P.22/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan di Lingkungan KLHK, yang mewajibkan pelibatan pelapor secara aktif dalam proses tindak lanjut pengaduan.

4. Potensi Pembiaran atas Dugaan Kejahatan Kehutanan

Kasus yang dilaporkan menyangkut pembukaan lahan dalam kawasan hutan lindung mangrove oleh PT WIN. Bila pemeriksaan tidak dijalankan secara serius dan terbuka, ada potensi pembiaran terhadap:

  • Tindak pidana kehutanan, sebagaimana diatur dalam:
    • UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
    • Pasal 50 ayat (3) dan Pasal 78: aktivitas tanpa izin dalam kawasan hutan adalah tindak pidana.

Mangrove termasuk ekosistem lindung, dan kerusakannya berdampak langsung pada keberlanjutan pesisir dan keselamatan masyarakat.


Kesimpulan

Penolakan GAKKUM untuk membuka akses dokumen pemeriksaan kepada warga pelapor dan WALHI Sultra tidak hanya mencederai prinsip transparansi, tetapi juga melanggar sejumlah regulasi lingkungan hidup dan keterbukaan informasi. Ini menunjukkan lemahnya komitmen institusi dalam melibatkan masyarakat sebagai mitra dalam penegakan hukum lingkungan. Ketertutupan ini berpotensi mengaburkan upaya perlindungan kawasan lindung dan membuka jalan bagi impunitas aktor industri ekstraktif.

Bagikan Sosial Media

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *