Konflik Agraria di Rakawuta: Tanah yang Kami Cangkul, Mereka Klaim

Rakawuta, Mowila – 15 April 2025
Sejumlah instansi pemerintah, di antaranya BPN, DPRD Konawe Selatan, Dinas Transmigrasi, Ombudsman RI, Camat Mowila, Kepala Desa Rakawuta, serta pihak kepolisian, melakukan kunjungan lapangan ke Desa Rakawuta, Kecamatan Mowila, untuk meninjau langsung lahan pertanian milik warga yang digusur oleh PT. Merbau Jaya Indah Raya. Kunjungan ini merupakan tindak lanjut dari mediasi yang dilakukan di Ombudsman pada 19 Maret 2025, yang menyepakati bahwa penggusuran harus dihentikan hingga dilakukan verifikasi lapangan oleh pemerintah dan pengukuran resmi oleh BPN.

Namun, sebelum pengukuran dilakukan, masyarakat menyampaikan latar belakang konflik kepada para pihak. Warga mengungkap bahwa konflik bermula dari keterlibatan oknum kepala desa sebelumnya yang menerima dana sebesar Rp60 juta dari perusahaan untuk mencarikan lahan yang dijual warga. Dalam praktiknya, hanya segelintir warga yang bersedia menjual lahan, namun sebagian besar lahan milik warga lainnya ikut digusur tanpa sepengetahuan dan persetujuan mereka.

Masyarakat menegaskan bahwa tidak pernah ada pembebasan lahan yang sah. Bahkan, skema kerja sama plasma yang dijanjikan perusahaan dengan sistem bagi hasil 80:20 pun tidak pernah terealisasi. Warga mengaku bingung ketika mengetahui lahan mereka masuk dalam HGU perusahaan, padahal mereka tidak pernah diajak berdiskusi ataupun menandatangani perjanjian apa pun.

Mirisnya, setelah kesepakatan mediasi di Ombudsman yang melarang adanya penggusuran sementara, PT. Merbau tetap melakukan aktivitas penggusuran, bahkan hingga hari ini. Padahal, kesepakatan tersebut telah ditandatangani oleh semua pihak, termasuk pihak perusahaan.

Saat pengukuran dilakukan, BPN hanya mampu mengukur tiga petak lahan warga, dengan alasan keterbatasan alat. Sisanya ditunda tanpa kejelasan waktu, dan hanya lahan yang sudah terdata di BPN yang akan diukur. Warga yang lahannya sudah digusur tapi belum masuk daftar BPN, hanya diminta memasang patok sebagai tanda batas kepemilikan. Hal ini disepakati oleh kepala desa, meskipun pihak BPN meninggalkan lokasi sebelum diskusi bersama Ombudsman dan DPRD dilakukan.

Ombudsman menyayangkan tindakan BPN yang pulang sebelum rapat gabungan berlangsung. Padahal, kehadiran mereka penting untuk memastikan proses penyelesaian berjalan tuntas. Keterlambatan ini dikhawatirkan akan membuat masyarakat harus menunggu lebih lama untuk bertemu dengan Bupati Konawe Selatan guna menyelesaikan konflik lahan secara menyeluruh.

Warga juga mengeluhkan kurangnya transparansi dari BPN, terutama terkait dokumen HGU perusahaan yang disebut-sebut sebagai rahasia negara, meskipun menurut masyarakat HGU bukan dokumen yang tergolong rahasia. Mereka juga mempertanyakan dasar penerbitan HGU tersebut, karena tidak pernah dilibatkan dalam proses verifikasi atau pembebasan lahan sebelumnya.

DPRD Konawe Selatan mengimbau masyarakat untuk mengumpulkan dokumen-dokumen yang membuktikan hak kepemilikan mereka, mengingat warga telah tinggal dan bertani di sana jauh lebih lama daripada kehadiran perusahaan.

Pemerintah desa berharap konflik ini segera diselesaikan agar masyarakat tidak terus-menerus menghadapi tekanan, intimidasi, dan praktik premanisme oleh perusahaan. Warga menyatakan bahwa mereka terpaksa menerima ganti rugi yang tidak sesuai setelah tanaman merica dan komoditas pertanian mereka digusur tanpa persetujuan. Sebagian lainnya tetap konsisten mempertahankan lahan, karena itu merupakan sumber utama penghidupan mereka.

Kondisi jalan menuju lahan pertanian juga kini rusak parah dan rawan banjir akibat aktivitas lalu-lalang kendaraan perusahaan.

Warga mendesak agar seluruh proses pengukuran, pengembalian lahan, dan ganti rugi dilakukan secara transparan dan adil. Mereka juga menolak narasi sepihak bahwa perusahaan sudah melakukan pembebasan lahan secara sah, karena mereka—sebagai pemilik sah—tidak pernah dilibatkan.

-TIM ADVOKASI WALHI SULTRA

Bagikan Sosial Media

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *