Waktu setahun 2024 baru saja berganti memasuki 2025. Sudah nyaris sedekade penduduk empat kecamatan di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara bertahan hidup menghadapi paparan polusi udara dampak aktivitas PLTU Obsidian Stainless Steel (OSS).
Mereka beraktivitas sehari-hari dengan menghirup serakan debu. Di samping mesti menyisipkan waktu berulang kali membersihkan abu hitam yang mengerubungi rumah sampai menempel di perabot dapur.
Di antara kawasan permukiman paling terdampak berada di tempat tinggal Abdullah (58) di Desa Tani Indah, Kecamatan Kapoiala, Konawe. Rumah panggungnya bersebelahan tak lebih 200 meter dari pusat pembangkit listrik berbahan bakar batu bara itu. Selain menanggung pencemaran debu, saban hari telinganya disesaki suara gemuruh mesin yang beroperasi tanpa jeda.
PLTU OSS bersifat captive, atau pembangkit yang dioperasikan dan dimiliki sebuah perusahaan tertentu untuk menyuplai kebutuhan listriknya sendiri yang berdiri sejak 2018.
Berkapasitas 1.620 megawatt didedikasikan untuk menunjang total kebutuhan daya listrik pabrik pengolahan bijih nikel dalam memproduksi baja stainless steel seri 300 dengan besaran produksi 3 juta ton per tahun.
Supaya dapat memenuhi daya listrik sesuai kapasitasnya, dibutuhkan konsumsi bahan baku batu bara sebesar 522.936 ton per bulan.
Kebutuhan batu bara juga diperuntukkan sebagai bahan baku pemanas alat pengering dan material pereduksi pada rotary kiln yang menghabiskan sekitar 756.000 ton tiap tahun. Dengan penggunaan untuk 12 line membutuhkan batu bara 63.000 ton per bulan.
Proses pembakaran batu bara guna menghasilkan setrum listrik membawa kepulan asap keluar membumbung tinggi melewati cerobong. Abu hitam sisa pembakaran itu lantas menyebar berakhir menghinggapi lingkungan permukiman yang dihirup warga setiap hari.
Kondisi tersebut tak pelak menimbulkan masalah kesehatan, salah satu santer terjadi penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Seperti pernah diidap Abdullah warsa 2022.
Diketahui melalui pemeriksaan radiologi organ paru-parunya menghitam. Mula-mula dia mengalami gejala sesak napas dan batuk berdarah. Akhirnya dia harus mengonsumsi obat tiga kali sehari rutin selama 6 bulan untuk menyembuhkan penyakitnya.
Dia dibawa berobat oleh anak sulungnya Kamriadi di klinik dokter spesialis penyakit dalam di Kota Kendari-berjarak 50 kilometer dari rumah. Akses pengobatan di luar fasilitas layanan kesehatan umum lebih dipilih karena pertimbangan kualitas pelayanan, kendati perlu merogoh biaya tidak sedikit.
“Kalau dirawat di rumah sakit biasa dua, tiga hari baru dokter datang periksa,” kata Kamriadi.
Sepanjang masa pengobatan Abdullah menjalani pemeriksaan terjadwal dua minggu sekali. Demi bersua dokter, dia menempuh perjalanan sejam lebih menumpang sepeda motor dikendarai putranya. Mereka melintasi separuh jalan hauling jalur kendaraan dump truk yang mengakut material batu bara dan nikel tanpa menutup bak.
Arus pengangkutan batu bara dan nikel turut menyumbang terjadinya pengotoran udara. Desa Tani Indah sendiri merupakan satu dari beberapa desa berada di tengah kepungan sarang pencemaran debu.
Di sisi utara debu hitam datang dari operasi pusat pembangkit listrik. Mengarah ke timur terdapat pelabuhan tempat bongkar muat batu bara dan nikel. Sementara arah selatan dan barat menjadi lokasi penumpukan stok cadangan nikel dan material batu bara bekas pembakaran yang menggunung.
Masifnya penyebaran debu dari empat arah mata angin memicu risiko warga terserang penyakit gangguan pernapasan.
Menukil dalam laporan riset tim peneliti Universitas Harvard dan Greenpeace 2015 terkait dampak PLTU batubara, menjelaskan pencemaran debu batu bara dapat menyebabkan paparan zat beracun, ozon dan logam berat.
Dampak kesehatan disebabkan partikel mikroskopik (PM2,5) yang terbentuk dari emisi sulfur, nitrogen oksida dan debu. Pencemaran debu menimbulkan berbagai jenis penyakit di antaranya ISPA akibat partikel halus toksik menembus ke dalam paru-paru dan aliran darah.
Puskesmas Kapoiala mendata penderita ISPA konstan meningkat dalam empat tahun terakhir sejak 2021. Selama kurun waktu itu angkanya dihitung berdasarkan jumlah kunjungan memuncaki daftar 10 besar penyakit ditangani setiap masa setahun pelayanan.
Jumlah penyakit ISPA di Kecamatan Kapoiala periode 2021-2024;
Lembaga Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, CREA dalam laporan bertajuk “Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel” dirilis 2023, menganalisa PT OSS menjadi perusahaan smelter dengan proyeksi dampak kesehatan tertinggi dari 15 perusahaan smelter tersebar di 10 provinsi Indonesia Timur.
CREA menganalisa aktivitas korporasi asal Tiongkok itu akan menyebabkan hingga 1060 kematian tahunan akibat polusi udara terkait dengan emisi smelter dan captive power pada 2030. Angka tersebut dihitung berdasarkan kejadian pencemaran tanpa pengendalian emisi yang tepat.
Salah satu faktor utama di balik hitungan emisi adalah informasi kapasitas produksi per perusahaan dan pembangkit batu bara captive yang dimiliki. Diketahui PT OSS mempunyai kapasitas produksi 3 juta ton produk baja stainless steel dan 2,2 juta ton ferronickel. Serta 1.620 megawatt PLTU captive.
Dalam studinya CREA menganalisa dampak terkait infeksi saluran pernapasan bawah dan asma dikuantifikasikan terhadap risiko kematian dini akibat polusi udara paparan PM25 dari gas buangan smelter dan PLTU. Referensi perhitungan menggunakan fungsi risiko, paparan terhadap konsentrasi polusi udara dan respon kesehatan.
Warga pun kini didera kekhawatiran berlipat. Pasalnya, di tengah kian meningkatnya skala denyut kerusakan kesehatan, mereka tidak mendapatkan jaminan perlindungan melalui penyediaan layanan kesehatan yang ditopang fasilitas memadai.
Satu-satunya pusat pelayanan berada di Puskesmas, walau itu relatif sulit dijangkau bagi warga beberapa desa di Kapoiala. Di mana untuk dapat memeriksakan kesehatan warga harus memeras tenaga melewati separuh medan jalan beralas material batu bara bekas pembakaran. Menyusul jalan tanah berlubang yang tergenang bila diguyur hujan. Kemudian perjalanan masih dilanjutkan dengan menyeberangi sungai menumpangi pincara.
Pelayanan Puskesmas setempat pula masih terkendala minimnya fasilitas peralatan untuk menangani sejumlah penyakit, termasuk ISPA. Langkah alternatif adalah merujuk pasien ke rumah sakit terdekat yang ada di Kota Kendari.
Kamriadi, warga Desa Tani Indah, mengatakan penduduk di wilayah paling terdampak aktivitas industri seperti mereka nyaris belum pernah tersentuh perhatian serius terutama menyangkut layanan kesehatan.
Padahal, kata dia, di tengah kondisi krusial menghadapi bencana kesehatan, semestinya diimbangi dengan upaya penyediaan fasilitas layanan terdekat mudah diakses yang didukung kelengkapan peralatan medis sesuai kebutuhan penanganan.
“Seharusnya pemerintah menghadirkan fasilitas kesehatan, di satu sisi untuk masyarakat, di sisi lain untuk karyawan yang insiden. Kesulitannya itu jaraknya yang jauh,” ujarnya.
Selain itu, menurutnya, dinas kesehatan harusnya kooperatif memantau kondisi kesehatan warga secara berkala melalui program pemeriksaan di tempat. Upaya itu pula sebagai langkah preventif dengan mendeteksi dini gejala timbulnya penyakit agar mencegah dampak kesehatan semakin memburuk.
Kepala tata usaha UPTD Puskesmas Kapoiala, Asnining mengatakan pihaknya punya pelaksanaan program pemeriksaan kesehatan di desa rutin sebulan sekali melalui posyandu. Kegiatan itu mencakup pelayanan pemeriksaan anak-balita dan ibu hamil serta kalangan lansia.
Dia juga menyampaikan Puskesmas telah berupaya mendekatkan pelayanan terhadap warga dengan menempatkan petugas kesehatan di masing-masing desa. Program tersebut terselenggara lewat jalinan kerja sama antar pemerintah desa.
Namun begitu, Asnining menyebut pelaksanaan pelayanan di tempat masih menemui sejumlah kendala utamanya perihal ketersediaan gedung pusat pelayanan dan kekurangan alat perlengkapan dan bahan seperti obat-obatan.
Kendala lain, kata dia, berkenaan biaya untuk penggajian petugas kesehatan di desa yang bersumber dari porsi keuangan dana desa dan diterima dalam tiga bulan sekali. Disampaikannya, para petugas tak jarang mengadukan masalah keterlambatan pembayaran.
“Biasa terlambat mereka punya gaji. Itu yang jadi masalah terlambat karena tunggu dana desa keluar,” katanya.
Masalah ketersediaan anggaran juga menghambat keefektifan kinerja pegawai kesehatan untuk dikerahkan dalam menjalankan tugas pelayanan di luar Puskesmas. Tenaga kesehatan di Puskesmas Kapoiala total berjumlah 62 pegawai, terdiri 40 ASN dan 22 pegawai harian lepas alias PHL.
Nakes berstatus PHL hanya terikat administrasi keanggotaan, namun tidak dengan ketentuan biaya penggajian. Mereka mendapatkan honor sesuai waktu kehadiran dari insentif yang disalurkan BPJS.
Penulis: La Ode Muhlas
Editor: Didi