Pada acara Musrenbang Nasional 2024 di Gedung Bappenas, Jakarta, Presiden RI Prabowo Subianto mengungkapkan ambisi besar Indonesia untuk memperluas lahan kelapa sawit guna memenuhi permintaan global. Dalam kesempatan tersebut, Prabowo juga menegaskan bahwa kelapa sawit, sebagai pohon yang dapat menyerap karbon dioksida, tidak perlu dianggap sebagai penyebab deforestasi yang merugikan. Pernyataan ini, yang menyatakan bahwa kelapa sawit dapat menyerap karbon dan tidak perlu khawatir mengenai dampak deforestasi, memunculkan perdebatan terkait dampak lingkungan dari ekspansi kelapa sawit, terutama di pulau-pulau besar seperti Sulawesi.

Kelapa Sawit dan Penyerap Karbon
Secara teori, memang benar bahwa kelapa sawit, seperti tanaman lainnya, dapat menyerap karbon dioksida melalui fotosintesis. Namun, perlu dicatat bahwa kemampuannya untuk menyerap karbon jauh lebih terbatas dibandingkan dengan hutan tropis alami yang memiliki struktur ekosistem yang jauh lebih kompleks. Di hutan tropis, pohon-pohon besar yang tumbuh selama bertahun-tahun mampu menyerap karbon dalam jumlah yang jauh lebih besar. Ketika kelapa sawit ditanam, meskipun ada penyerapan CO2, proses tersebut tidak sebanding dengan potensi yang hilang akibat kerusakan ekosistem yang lebih besar.
Deforestasi dan Perusakan Ekosistem
Pernyataan Prabowo yang menyebutkan bahwa kita tidak perlu khawatir tentang deforestasi akibat ekspansi kelapa sawit tampaknya mengabaikan fakta bahwa pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit seringkali melibatkan penghancuran hutan alam dan lahan gambut. Proses ini tidak hanya merusak habitat flora dan fauna yang bergantung pada hutan, tetapi juga melepaskan karbon yang terperangkap dalam tanah dan vegetasi ke atmosfer. Deforestasi untuk kelapa sawit di Indonesia mencapai 32.406 hektar per tahun pada periode 2018-2022, dengan Kalimantan dan Papua menjadi lokasi utama. Pada tahun 2025, Sulawesi diprediksi akan menjadi salah satu daerah yang akan mengalami perluasan perkebunan kelapa sawit, yang berpotensi menambah lahan hutan yang hilang di kawasan tersebut.
Di Papua, Sulawesi, dan Maluku, upaya pelepasan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit telah dimulai, meskipun ini berisiko besar bagi keberlanjutan ekosistem lokal. Pembukaan hutan untuk perkebunan ini tentu saja menimbulkan emisi karbon baru dan bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam mengurangi perubahan iklim, seperti yang disampaikan oleh Bustanul Arifin, Presiden Asian Society of Agricultural Economists. Ekspansi ini juga akan memperburuk dampak pengeringan lahan gambut yang sudah menjadi masalah besar dalam beberapa tahun terakhir.

Proyek Sulawesi Palm Oil Belt di Pulau Sulawesi
Proyek ini berisiko merusak ekosistem Wallacea. Di kawasan ini, terdapat sekitar 125.660 spesimen flora dan fauna yang sebagian besar merupakan spesies endemik, seperti Anoa, Tarsius, Maleo, dan Kakatua Kecil Jambul Kuning. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa 62% mamalia yang ada di Sulawesi adalah spesies endemik. Penurunan kualitas habitat akibat proyek sawit dapat memperburuk kondisi spesies-spesies tersebut, yang saat ini sudah rentan dan terancam punah.
Rencana pengembangan perkebunan dan industri kelapa sawit di Pulau Sulawesi belakangan ini semakin mengemuka. Mega proyek yang dikenal dengan nama Sulawesi Palm Oil Belt ini mengusung ambisi besar untuk memanfaatkan lahan seluas satu juta hektar yang akan membentang dari Sulawesi Selatan hingga Manado, Sulawesi Utara. Lahan-lahan tersebut terbagi di beberapa provinsi, dengan Sulawesi Selatan (Sulsel) mendapatkan alokasi sebesar 100 ribu hektar, Sulawesi Tenggara (Sultra) 290 ribu hektar, Sulawesi Barat (Sulbar) 120 ribu hektar, Sulawesi Tengah (Sulteng) 300 ribu hektar, Gorontalo 95 ribu hektar, dan Sulawesi Utara (Sulut) sebesar 70 ribu hektar. Sisanya, masih dalam proses identifikasi.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Di sisi lain, ambisi ekspansi kelapa sawit memang membawa dampak positif bagi perekonomian lokal. Peningkatan luas lahan kelapa sawit di Sulawesi diharapkan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Namun, dampak positif tersebut harus dilihat secara seimbang dengan kerugian ekologis yang ditimbulkan. Kerusakan lingkungan akibat ekspansi kelapa sawit berisiko merusak sumber daya alam yang sangat penting, baik bagi manusia maupun satwa liar yang bergantung pada hutan.
Hutan tropis, seperti yang ditemukan di Sulawesi, menyumbang sekitar 20-30% oksigen dunia. Ketika hutan-hutan ini rusak, tidak hanya keanekaragaman hayati yang hilang, tetapi juga kualitas udara dan keseimbangan ekosistem yang mendukung kehidupan seluruh makhluk hidup, termasuk manusia. Kehilangan habitat satwa liar dan tanaman endemik dapat menyebabkan hilangnya spesies yang sangat penting bagi keberlanjutan ekosistem global.
Menjaga Keberlanjutan
Pemerintah harus memastikan bahwa ekspansi kelapa sawit dilakukan secara berkelanjutan. Salah satu solusinya adalah dengan mengalihkan fokus ke lahan terdegradasi yang sudah tidak produktif lagi untuk perkebunan kelapa sawit, daripada membuka hutan alam. Jika pemerintah tetap melanjutkan rencana untuk memperluas perkebunan kelapa sawit di Pulau Sulawesi dan wilayah lainnya, perlu ada kebijakan yang tegas dan komitmen untuk tidak mengizinkan pembukaan hutan alam atau lahan gambut.
Pembangunan yang berkelanjutan harus tetap memperhatikan dampak ekologis yang jangka panjang, bukan hanya pertumbuhan ekonomi sesaat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, sektor industri, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam memastikan bahwa sumber daya alam dikelola dengan bijaksana, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap generasi mendatang.

Ambisi Indonesia untuk memperluas perkebunan kelapa sawit, terutama di Pulau Sulawesi, memang memiliki potensi untuk meningkatkan ekonomi lokal dan mendukung kebijakan energi terbarukan. Namun, perlu disadari bahwa ekspansi ini juga membawa risiko besar bagi lingkungan. Deforestasi yang terus-menerus dan perusakan lahan gambut berkontribusi pada perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati yang tak ternilai. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kelapa sawit, memastikan bahwa ekspansi tersebut tidak merusak ekosistem yang sudah ada, dan mengutamakan penggunaan lahan terdegradasi daripada hutan alam yang masih sangat bernilai ekologis.
Penulis : Gian Purnama Sari
Editor : FW