
WALHI Sulawesi Tenggara mengecam keras rencana pembangunan rumah pribadi Gubernur Sulawesi Tenggara yang mengakibatkan perusakan sekitar 3 hektar kawasan hutan mangrove, sebuah kawasan yang secara hukum maupun etika wajib dilindungi. Tindakan ini semakin menegaskan bahwa gubernur telah terbiasa mengabaikan kelestarian lingkungan dan terus memperlihatkan pola pembangunan yang merusak lingkungan.
Kawasan mangrove bukanlah ruang bebas garap. Ia adalah kawasan lindung yang mempunyai manfaat ekologis. Kerusakan 3 hektar mangrove berarti hilangnya benteng alami ekologis sebagai pelindung dari krisis lingkungan.
Keterlibatan seorang pejabat publik dalam proyek yang menimbulkan kerusakan ekosistem mangrove merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan dan konflik kepentingan yang nyata. Dalam banyak kesempatan, gubernur menunjukkan pola kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan pribadi dan investor ketimbang keselamatan lingkungan hidup rakyat Sulawesi Tenggara. Dari pembiaran aktivitas industri ekstraktif yang merusak daerah aliran sungai, hingga konsesi besar-besaran untuk proyek industri nikel yang menyebabkan banjir, krisis air, dan degradasi ekologis, semuanya memperlihatkan kecenderungan yang sama, alam dikorbankan, rakyat menjadi korban.
Alih-alih menjaga kawasan lindung, gubernur justru memberi contoh buruk dengan menggerus ekosistem mangrove demi kepentingan pribadi. Tindakan ini tidak hanya melanggar prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas konflik kepentingan, tetapi juga menunjukkan ketidakpedulian terhadap komitmen iklim yang seharusnya dijaga oleh setiap kepala daerah.
WALHI Sulawesi Tenggara menegaskan bahwa pembangunan di kawasan mangrove untuk kepentingan pribadi adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan, baik secara hukum maupun moral. Pemerintah daerah semestinya menjadi garda terdepan dalam pemulihan ekosistem lingkungan, bukan justru menjadi pelaku perusakan